Jumat, 25 Juni 2010

" Simpul Keramaian Kawasan Peterongan Kota Semarang "

1. Pendahuluan

Semarang adalah kota yang mempunyai fungsi strategis bagi masyarakat di wilayah Jawa bagian tengah. Selain menjadi ibukota provinsi Jawa Tengah, kota ini juga mempunyai pelabuhan laut besar yang menjadi pintu gerbang aktivitas perekonomian dan perdagangan di kawasan Jawa bagian tengah. Maka, aktivitas industri, perdagangan dan jasa menjadi nafas kehidupan masyarakat Semarang dan sekitarnya.

Semarang yang saat ini mempunyai penduduk sekitar 1,3 juta jiwa, mempunyai luas wilayah sekitar 370 km persegi. Cukup besar bagi sebuah kota. Di atas kertas memang sangat ideal bagi perkembangan sebuah kota. Namun jika kita berkunjung ke sana, tampaklah beberapa masalah tata ruang dan kesemrawutan kota yang bisa menjadi pemandangan sehari - hari. Pusat keramaian kota yang tidak merata, dengan beberapa simpul keramaian terdapat pada tengah kota, seperti kawasan Simpang Lima, kawasan Tugu Muda, kawasan Johar, kawasan Peterongan hingga pasar kambing, dll, juga turut andil dalam menciptakan kepadatan yang terpusat. Apabila ditelusuri, hal ini tidak mungkin terjadi begitu saja, pasti ada sesuatu yang menyebabkan keramaian terjadi “ hanya “ pada simpul – simpul tersebut.

2. Pembentuk Citra Kawasan Peterongan Semarang

Kawasan Peterongan merupakan suatu kawasan padat penduduk dan transportasi yang terletak di wilayah Semarang Selatan. Secara umum kawasan ini merupakan daerah perdagangan dan jasa selain sebagai daerah pemukiman penduduk. Aktifitas perdagangan dan jasa pada daerah ini, pada skala kota telah menciptakan citra tersendiri baik bagi penduduk daerah di luar kawasan maupun penduduk didalam daerah kawasan itu sendiri.

Bagi penduduk diluar kawasan, telah menempatkan kawasan sebagai salah satu daerah perdagangan yang dapat digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan mereka. Sedangkan bagi penduduk kawasan ini, daerah ini merupakan tempat mereka mencari nafkah.

Sebagai kawasan yang berkembang menjadi kawasan pusat perdagangan dan jasa, kawasan ini telah mempunyai berbagai fasilitas yang berperan meningkatkan dan megaktifkan kawasan. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain fasilitas perdagangan, terlihat dengan adanya 2 pusat perbelanjaan besar, yakni Pasar Swalayan SriRatu, dan Java Supermall, adapula pasar peterongan, ruko, toko, tempat makan dari warung emperan ( PKL ) hingga restoran, fasilitas perkantoran seperti bank, dan fasilitas untuk aktifitas lain yang sifatnya menunjang kawasan seperti tempat ibadah, pendidikan, dan fasilitas pejalan kaki .

Kepadatan pada kawasan ini terjadi hampir sepanjang hari. Pada pagi hari, jalan disekitar pasar peterongan penuh sesak dengan pedagang, parkir kendaraan bermotor, dan kendaraan yang lalu lalang, selain itu, pada pagi dan siang hari kemacetan juga terjadi di depan sekolah Sedes Sapientae, ketika sore menjelang malam apalagi bila malam Minggu tiba, jalan didepan Pasar Swalayan SriRatu Peterongan padat dan penuh dengan kendaraan yang ingin menuju Sriratu, dan kendaraan “ buangan “ dari arah jalan Sriwijaya yang tidak boleh langsung belok ke arah Java Supermall karena kepadatan yang lebih “ menggila “.

Dengan adanya beberapa potensi diatas, dari segi ekonomi memang sangat menguntungkan, terciptanya kegiatan jual beli baik berupa barang maupun jasa pada kawasan ini secara tidak sadar meningkatkan nilai ekonomi kawasan, apalagi ketika citra sebuah kawasan sudah terbentuk sebagai sebuah kawasan ekonomi dan perdagangan. Sifat dasar manusia yang sangat ekonomi, dalam usaha untuk pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraannya ketika melihat peluang ramainya kawasan, mengisyaratkan banyaknya permintaan namun penawaran yang terbatas juga dapat mendukung meningkatnya nilai ekonomi sebuah kawasan.

Dari segi sosial, interaksi positif antar manusia dalam setiap kegiatan yang ada pada kawasan yang sangat ramai tidak sepenuhnya tercapai, dengan adanya heterogenitas manusia yang datang kesenjangan sosial bisa terjadi, hal semacam ini seringkali ditemukan pada setiap kawasan yang padat. Adanya pencurian kendaraan bermotor, copet, jambret dapat dijadikan sebuah indikasi adanya permasalahan kesenjangan sosial pada kawasan ramai, dimana orang – orang yang datang sangat heterogen. Tidak menutup kemungkinan pembentukan citra negatif pada sebuah kawasan yang ramai dapat terjadi dengan adanya permasalahan ini.

Dari segi arsitektural, keseragaman dan keteraturan beberapa bangunan yang ada kurang dapat membentuk citra kawasan yang baik, terkesan kumuh dan asal – asalan dalam menciptakan simpul keramaian.Untuk itu perlu adanya penataan ulang atau revitalisasi pada beberapa bagian tertentu, contohnya pasar peterongan yang mengimbaskan kesan kumuh pada bangunan Pasar Raya SriRatu Peterongan , lain halnya dengan Java Supermall, yang setidaknya memiliki kesan lebih baik.

3. Permasalahan Utama Kawasan Peterongan Semarang

Sebagai kawasan perdagangan yang padat penduduk dan transportasi, terdapat beberapa permasalahan utama yang perlu diperhatikan penyelesaiannya diantaranya, kesemrawutan akses, kemacetan dan parkir. Kesemrawutan pada dasarnya terjadi karena kurangnya kesadaran akan pemanfaatan trotoar sebagai area untuk berdagang, sehingga fasilitas pejalan kaki terganggu dan akhirnya mengambil jalur kendar aan sebagai area pejalan kaki. Dari sini timbulah masalah baru, yaitu kemacetan dengan pengambilan jalur oleh para pejalan kaki, maka jalur kendaraan semakin sempit padahal volume kendaraan semakin meningkat. Tidak berhenti sampai disitu, penambahan volume kendaraan yang tidak diimbangi dengan lahan parkir yang memadai juga menambah berat permasalahan yang ada, karena parkir liar yang ada biasanya juga memakan jalur kendaraan. Kini yang bisa dilakukan hanya penataan dan penertiban kawasan oleh pemerintah yang berwenang karena pelebaran jalan sudah tidak mungkin dilakukan untuk menghindari dan menyelesaikan masalah tersebut. Jangan sampai potensi yang ada menciptakan citra buruk pada kawasan ini.

4. Kesimpulan

Apabila dikelompokkan, pada Kawasan Peterongan terdapat 3 kelompok simpul keramaian. Simpul keramaian pertama terletak pada koridor jalan Dokter Wahidin Sudirohusodo di depan Java Supermall, Simpul keramaian kedua terletak pada koridor jalan Dokter Wahidin Sudirohusodo di depan Pasar Swalayan SriRatu serta Pasar Peterongan, dan Simpul keramaian ketiga terletak pada koridor jalan Mataram di depan Sekolah Sedes Sapientae. Dengan banyaknya simpul keramaian pada kawasan ini, diikuti pula dengan banyaknya permasalahan yang ada, maka perlu adanya perhatian khusus untuk penyelesaiannya. Penataan dan penertiban kawasan oleh pemerintah yang berwenang dibantu dengan partisipasi masyarakat dapat dijadikan salah satu solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Jangan sampai potensi yang ada menciptakan citra buruk pada kawasan ini.

Rabu, 23 Juni 2010

" Makna Dibalik Upacara Tradisional DUGDERAN "

1. Pendahuluan

Secara empirik, “ Dugderan “ merupakan upacara tradisional Kota Semarang yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu setiap awal bulan Ramadhan. Kegiatan ini biasanya diawali dengan adanya pasar rakyat yang dimulai seminggu sebelum dugderan, dan biasanya diramaikan dengan banyaknya pedagang dari berbagai daerah yang menggelar barang daganganya, seperti ; bermacam-macam makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan, gerabah.

Selain itu adapula karnaval yang diikuti mobil-mobil hias dengan berbagai tema, diantaranya : pakaian adat yang mencerminkan binneka tunggal ika, kesenian khas Kota Semarang, cerita tradisional Kota Semarang, drum band, dan yang menjadi ciri khas dari karnaval ini, “ Warak Ngendok “, sejenis binatang khayalan berkepala naga namun bertubuh kambing yang berjalan beriringan keliling Kota Semarang. Sebelum karnaval dimulai biasanya telah banyak warga yang berkumpul ditepi jalan – jalan besar seperti jalan Pahlawan, jalan Pandanaran, sampai jalan Pemuda. Bagi anak – anak kecil karnaval ini dapat menjadi pengalaman tersendiri yang menyenangkan karena banyaknya kendaraan hias yang menarik.

2. Permasalahan

Bagaimana upacara tradisional Kota Semarang yang disebut ’ Dugderan ” ini bermula, dan mengapa diadakan sebelum bulan Ramadhan tiba ? Untuk menemukan jawabannya, perlu adanya pencarian makna simbolik dari upacara tradisional Kota Semarang ini, sehingga didapat juga realitas ide, dan nilai dari upacara tradisional ini. Beberapa literatur dapat digunakan sebagai pendukung untuk menemukan makna simbolik yang ada dibalik upacara tradisional ini.

3. Sejarah Upacara Tradisional “ Dugderan “

Kata Dugderan, yang merupakan nama upacara ini, berasal dari kata “ Dug “ yang diasumsikan sebagai suara bedug yang dipukul sehingga menghasilkan suara Dug..Dug.., dan kata “ Der “ yang diasumsikan sebagai suara meriam.

Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat yang merupakan Adipati. Dialah orang yang pertama kali memberanikan diri memimpin upacara tradisional Dugderan untuk menentukan mulainya hari puasa, dimana setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum membunyikan bedug dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman Kabupaten.

3.1 Jalannya Upacara

Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :

1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan

dibunyikan.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.

Adapun petugas yang harus siap ditempat :
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara

Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.

4. Makna Simbolik Upacara Tradisional “ Dugderan “

Dari dasar empirik dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai refrensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.

Jadi tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.

Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara warga Kota Semarang dengan sesama warga, warga Kota Lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, maupun dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.

Sehingga, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.

5. Realitas Ide

Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah Realitas Ide.

Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu.

Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam Masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa, lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan bahasa Jawa.

6. Realitas Nilai

Melihat dari penjelasan sebelumnya, pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti ; gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya ; nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah ; nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.

7. Penutup

Setelah mengerti apa dugderan itu ?, bagaimana sejarah awalnya ?, kita dapat mengerti dan memahami makna dan nilai yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, perlu adanya sikap dari warga Kota Semarang sendiri, dan Pemerintah Kota Semarang untuk tetap melestarikan aset wisata budaya Kota Semarang ini, mengingat dalamnya makna dan nilai yang tekandung didalam upacara tradisional dugderan ini.

Pengkajian diatas merupakan gabungan dari pandangan empirik penulis, dengan data dari literatur yang ada, dengan segala keterbatasannya semoga dapat bermanfaat.

" Bentuk dan pola arsitektur di era pan-cosmism "

Era pan-cosmism merupakan era dimana manusia “ masih “ merasa dirinya merupakan bagian dari alam tempat dirinya bernaung. Pada masa ini manusia memiliki ikatan yang sangat erat terhadap alam, karena alam dipandang sebagai sistem yang stabil, teratur, harmonis dan berdaur ulang. Segala hal yang terkandung dalam alam dianggap sakral, tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan manusia semata. Manusia harus memahami pola gerak dan perkembangan alam, serta bertindak penuh tanggung jawab dalam batas-batas tersebut.

Apabila melihat dari segi arsitektur yang berkembang pada masa itu, yang paling memiliki kesesuiaian adalah arsitektur kosmologis, kosmologis adalah bersifat atau berhubungan dengan kosmologi (ilmu cabang astronomi yang menyelidiki asal usul, struktur dan hubungan ruang dan waktu dari alam semesta); ilmu tentang asal usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari dan jagad raya; ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Ciri arsitektur kosmologis biasanya terlihat pada bentuk dan pola arsitektur tradisional. Selain berkaitan erat dengan alam, arsitektur kosmologis juga berkaitan erat dengan penghormatan kepada Tuhan sebagai pencipta alam. Contohnya, arsitekur Bali, Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:

a. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala

Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana

Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:

· Sumbu Tri Loka : Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)

· Sumbu ritual : Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)

· Sumbu natural : Gunung dan Laut

b. Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu

c. Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga

Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai bhuana alitdengan bhuana agung (alam semesta). Dalam kehidupan sehari-hari konsepsi ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin pada wadah interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tesebut (Kaler, 1983:44).

Konsepsi Tri Angga yang mengatur susunan unsur-unsur kehidupan manusia di alamnya/lingkungan fisik, yaitu; utama angga, madya angga, dan nista angga. Dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tata nilai rumah maupun desa. Suatu adat atau kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama dalam perhitungan ergonomis dan estetika bentuk bangunan adalah konsepsi Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi. (Astika, 1986:7).


Dalam penataan ruang pada konsep arsitektur Bali, masih mempertimbangkan orientasi alam ( gunung dan laut ) sebagai dasarnya, hal ini membuktikan adanya keselarasan antara alam dengan konsep arsitektur tradisional Bali.


Contoh lain, arsitektur Toraja, sebuah kelompok etnik yang tinggal disebelah utara propinsi Sulawesi Selatan, mempunyai bentuk arsitektur tradisional yang unik dan indah, yang merupakan ekspresi dari "Aluk Todolo", agama dan "way of life" nya. Pemikiran kosmologi dan "Aluk Todolo"diekspresikan dalam arsitektur Toraja, baik dalam tata letak (site plan), orientasi, konstruksi, material bangunan,detail, ornamen dan aspek-aspek arsitektur lainnya.


Dari sedikit contoh diatas, sudah mulai bis terlihat bahwa pada masa pan-cosmism bentuk dan pola arsitektur yang tercipta tidak bisa lepas keterkaitannya dengan alam setempat dan penghormatan kepada Tuhan, dan itu terlihat hampir pada semua arsitektur tradisional yang ada.

" Ketika Pembangunan Berkelanjutan hanya dilihat dari Aspek Ekonomi "

Pembangunan berkelanjutan atau yang biasa dikenal dengan sustainable development merupakan suatu proses pembangunan yang memiliki prinsip untuk memenuhi kebutuhan pada masa sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Pada dasarnya, yang harus dihadapi ketika proses pambangunan berjalan adalah bagaimana menyelaraskan antara pelestarian lingkungan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Tidaklah mungkin lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Oleh karena itulah dalam rangka melestarikan lingkungan hidup kita secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan juga perlu dilakukan. Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit akan dapat menjaga lingkungannya dengan baik. Ketika beberapa orang memandang pembangunan berkelanjutan dari ketiga sisi tersebut pasti pembangunan tersebut dapat berjalan lancar dan selaras, namun belum tentu ketiga pandangan tersebut bisa selaras pada kenyataannya dan pada akhirnya terjadi sebuah penyimpangan tujuan dari pembangunan berkelanjutan.

Pada masa sekarang, hampir setiap orang memandang pembangunan berkelanjutan hanya dari sisi ekonomi, dimana manusia berpikir untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan investasi untuk generasinya selanjutnya hanya dengan uang. Manusia berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, dan cenderung tidak mempedulikan apakah cara yang ditempuh benar atau salah. Salah satu contohnya dapat terlihat dengan minimnya ruang terbuka hijau atau lingkungan alami pada kota-kota besar yang biasa dijuluki metropolitan atau bahkan megapolitan yang sesak diisi oleh gedung – gedung tinggi sebagai pusat perputaran uang.

Kasus pada kota Jakarta, sekarang kita sudah jarang menemukan ruang terbuka hijau, dimana – mana, sebatas mata memandang yang terlihat hanya bangunan – bangunan besar dan gedung – gedung pencakar langit. Sebagai Ibukota Negara, tentu kota Jakarta memiliki kelebihan dimata para Investor untuk mengais “ Mata Uang “. Dengan lemahnya regulasi dan sifat ketidak-pedulian manusia itu sendiri, perkembangan industri dan ekonomi semakin meningkat pesat dan tidak terkendalikan. Ruang terbuka hijau atau lingkungan alami yang ada selalu kalah apabila diadu dengan nilai ekonomi yang akan didapat ketika dibangun sebuah pusat perbelanjaan atau apapun yang bisa menghasilkan uang, bahkan beberapa diantaranya dirusak dan dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat biasanya diikuti dengan peningkatan sektor industri. Dengan meningkatnya sektor industri tingkat pencemaran terhadap lingkungan akibat limbah proses produksi juga meningkat. Proses industrialisasi tidak hanya menciptakan jumlah total produksi yang meningkat tetapi juga meningkatkan jumlah polusi dari sisa produksi. Polusi akibat sisa produksi apabila tidak ditangani secara baik akan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan, dan lagi-lagi lingkungan alami yang kalah dan akhirnya rusak. Melihat kondisi tersebut, akan sangat disayangkan apabila ruang terbuka hijau yang memiliki banyak manfaat, sebagai paru-paru kota, pereduksi polusi udara, dan melindungi sistem air tanah, sangat sempit atau bahkan tidak ada. Padahal, sebagai Ibukota Negara, kota Jakarta harus bisa dijadikan tolak ukur perkembangan kota – kota lainnya di Indonesia.

Memang secara “ kasat mata ” hal tersebut merupakan suatu pembangunan berkelanjutan, namun itu bukan pembangunan berkelanjutan yang dimaksud dalam arti yang sebenarnya. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, apabila pembangunan berkelanjutan tersebut tidak hanya dilihat dari satu sisi, tetapi menyeluruh, dan manusia tidak serakah mengeksploitasi lingkungan untuk sekedar mendapatkan uang demi kelangsungan pembangunan berkelanjutan pribadi-nya karena pembangunan berkelanjutan yang berlangsung berwawasan lingkungan yakni, pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya. Selain itu, penegasan terhadap regulasi yang mengatur tentang keseimbangan lingkungan juga perlu ditingkatkan.

" Kontekstual konsep pembangunan berkelanjutan pada bidang arsitektur "

Ketika konsep pembangunan berkelanjutan dikontekstualisaikan kedalam bidang arsitektur akan membentuk sebuah konsep Arsitektur berkelanjutan atau Sustainable Architecture, dimana Arsitektur berkelanjutan, adalah Arsitektur yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang, dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Sama dengan konsep pembangunan berkelanjutan, konsep arsitektur berkelanjutan juga menitikberatkan keselarasan antara aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek keadilan sosial. Pada dasarnya mendukung konsep berkelanjutan, yaitu konsep mempertahankan sumber daya alam agar bertahan lebih lama, dan tidak rusak akibat eksploitasi manusia untuk meningkatkan tingkat perekonomian demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sehingga berdasarkan definisi diatas, arsitektur berkelanjutan pada dasarnya memiliki konsep :

1. Efisiensi terhadap penggunanaan energi alam.

Pemanfaatan energi alam yang pada sebuah karya arsitektur yang efisien contohnya, memanfaatkan sinar matahari untuk pencahayaan alami secara maksimal pada siang hari, untuk mengurangi penggunaan energi listrik yang notabene menggunakan bahan bakar fosil, yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu, pemanfaatan penghawaan alami untuk mengurangi penggunaan AC ( air conditioner ), dimana freon yang dihasilkan sangat tidak bersahabat dengan ozon.

2. Efisiensi terhadap penggunaan material.

Efisiensi penggunaan material dapat berupa pemanfaatan kembali material bangunan yang masih dapat dipergunakan, seperti, memanfaatkan material sisa untuk digunakan juga dalam pembangunan, sehingga tidak membuang material, misalnya kayu sisa dapat digunakan untuk bagian lain bangunan, dan penggunaan material yang masih berlimpah maupun yang jarang ditemui dengan sebaik-baiknya.

3. Efisiensi terhadap penggunaan lahan.

Penggunaan lahan terbangun yang efektif dengan menyisakan ruang untuk fungsi ruang terbuka hijau yang sesuai dengan peraturan daerah setempat. Dengan adanya efisiensi lahan, diharapkan turut membentuk suatu keseimbangan alam.

4. Penerapan teknologi yang sesuai dengan setting lokal ( Foster,1987 ).

Penerapan teknologi harus sesuai dengan aspek Physio, Socio, Econo, dan Regulation yang semuanya harus saling berintergrasi sehingga tidak ada penyimpangan tujuan dari konsep berkelanjutan pada sebuah bangunan. Contohnya, penerapan teknologi Sel surya yang dapat membuat sebuah karya arsitektur dengan pemenuhan energi yang Independen, dimana :

a. Dari segi Physio / lingkungan sangat bersahabat, karena menggunakkan energi matahari yang berlimpah dan dapat diperbaharui.

b. Dari segi Socio dan Econo, biasanya sangat berkaitan, memang mahal di awal, akan tetapi akan menjadi ekonomis setelahnya, dan hal tersebut yang dicari setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan.

c. Dari segi Regulation pemanfaatan selsurya selama tidak merugikan pihak lain dan sesuai dengan aturan dan standar pemasangan, bisa diaplikasikan.

5. Pengolahan limbah.

Pengolahan limbah yang baik, dapat bermanfaat untuk menjaga keseimbangan alam dengan meminimalisir pencemaran lingkungan sekitarnya. Selain itu, dengan membuat sistem pengolahan limbah domestik seperti air kotor yang mandiri dapat mengurangi beban sistem drainase kota.

Pada intinya, proses keberlanjutan arsitektur yang merupakan sebuah kesatuan siklus masa suatu karya arsitektur, mulai dari proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran harus terjadi keselarasan antara aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial.