1. Pendahuluan
Secara empirik, “ Dugderan “ merupakan upacara tradisional Kota Semarang yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu setiap awal bulan Ramadhan. Kegiatan ini biasanya diawali dengan adanya pasar rakyat yang dimulai seminggu sebelum dugderan, dan biasanya diramaikan dengan banyaknya pedagang dari berbagai daerah yang menggelar barang daganganya, seperti ; bermacam-macam makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan, gerabah.
Selain itu adapula karnaval yang diikuti mobil-mobil hias dengan berbagai tema, diantaranya : pakaian adat yang mencerminkan binneka tunggal ika, kesenian khas Kota Semarang, cerita tradisional Kota Semarang, drum band, dan yang menjadi ciri khas dari karnaval ini, “ Warak Ngendok “, sejenis binatang khayalan berkepala naga namun bertubuh kambing yang berjalan beriringan keliling Kota Semarang. Sebelum karnaval dimulai biasanya telah banyak warga yang berkumpul ditepi jalan – jalan besar seperti jalan Pahlawan, jalan Pandanaran, sampai jalan Pemuda. Bagi anak – anak kecil karnaval ini dapat menjadi pengalaman tersendiri yang menyenangkan karena banyaknya kendaraan hias yang menarik.
2. Permasalahan
Bagaimana upacara tradisional Kota Semarang yang disebut ’ Dugderan ” ini bermula, dan mengapa diadakan sebelum bulan Ramadhan tiba ? Untuk menemukan jawabannya, perlu adanya pencarian makna simbolik dari upacara tradisional Kota Semarang ini, sehingga didapat juga realitas ide, dan nilai dari upacara tradisional ini. Beberapa literatur dapat digunakan sebagai pendukung untuk menemukan makna simbolik yang ada dibalik upacara tradisional ini.
3. Sejarah Upacara Tradisional “ Dugderan “
Kata Dugderan, yang merupakan nama upacara ini, berasal dari kata “ Dug “ yang diasumsikan sebagai suara bedug yang dipukul sehingga menghasilkan suara Dug..Dug.., dan kata “ Der “ yang diasumsikan sebagai suara meriam.
Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat yang merupakan Adipati. Dialah orang yang pertama kali memberanikan diri memimpin upacara tradisional Dugderan untuk menentukan mulainya hari puasa, dimana setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum membunyikan bedug dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman Kabupaten.
3.1 Jalannya Upacara
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
dibunyikan.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap ditempat :
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.
4. Makna Simbolik Upacara Tradisional “ Dugderan “
Dari dasar empirik dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai refrensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Jadi tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.
Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara warga Kota Semarang dengan sesama warga, warga Kota Lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, maupun dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Sehingga, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.
5. Realitas Ide
Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah Realitas Ide.
Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu.
Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam Masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa, lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan bahasa Jawa.
6. Realitas Nilai
Melihat dari penjelasan sebelumnya, pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti ; gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya ; nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah ; nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.
7. Penutup
Setelah mengerti apa dugderan itu ?, bagaimana sejarah awalnya ?, kita dapat mengerti dan memahami makna dan nilai yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, perlu adanya sikap dari warga Kota Semarang sendiri, dan Pemerintah Kota Semarang untuk tetap melestarikan aset wisata budaya Kota Semarang ini, mengingat dalamnya makna dan nilai yang tekandung didalam upacara tradisional dugderan ini.
Pengkajian diatas merupakan gabungan dari pandangan empirik penulis, dengan data dari literatur yang ada, dengan segala keterbatasannya semoga dapat bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar